Senin, 07 November 2011

EUCHEUMA COTTONI

TUGAS PAPER EKOLOGI LAUT
EUCHEUMA COTTONII


undip logo.jpg

Disusun oleh :
       Muhammad Bazzar
                   26020110141023
                     Danar Prasetyo       
                   26020110141024


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
EUCHEUMA COTTONII

Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii (Doty 1986). Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi Eucheuma cottonii
menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :

Kingdom         : Plantae
Divisi               : Rhodophyta
Kelas               : Rhodophyceae
Ordo                : Gigartinales
Famili              : Solieracea
Genus              : Eucheuma
Species            : Eucheuma alvarezii Doty
Kappaphycus alvarezii (doty) Doty

Eucheuma cottonii merupakan spesies rumput laut yang banyak dibudidayakan di perairan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan manfaat pikokoloidnya yang besar yaitu karaginan dan agar serta teknik budidayanya yang relatif mudah dan murah. Eucheuma cottonii merupakan rumput laut merah (Rhodophyta) yang kaya akan pigmen fotosintesis dan pigmen aksesoris lainnya, yaitu klorofil a, α-karoten, β-karoten, fikobilin, neozantin dan zeanthin (Luning, 1990).
Logam dan mineral hampir selalu ditemukan dalam air tawar ataupun air laut. Masuknya logam berat seperti Hg (merkuri), Pb (timbal), Zn (seng), Cd (kadmium) dan logam berat lainnya dalam perairan laut dengan konsentrasi yang berlebih dapat memberikan efek toksik bagi organisme laut baik hewan ataupun tumbuhan. Pb dan Cd merupakan logam berat yang beracun dan merupakan unsur non esensial bagi kehidupan organisme khususnya rumput laut. Rumput laut mengakumulasi logam berat dari lingkungan perairan tempat hidupnya (Lamai, dkk. 2005).
Berdasarkan Silvanindya (2003), bahwa Eucheuma cottonii yang dibudidayakan di perairan Situbondo mengakumulasi Pb dengan konsentrasi rata-rata berkisar antara 0, 19 – 0, 94 ppm. Hal ini menyebabkan laju pertumbuhan Eucheuma cottonii menurun. Logam berat yang terdapat di perairan dapat diserap dan terakumulasi dalam thallus rumput laut. Pada prinsipnya logam berat mempengaruhi tumbuhan dengan cara mengganti kedudukan ion – ion esensial dalam sel. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies rumput laut bermanfaat dalam menyerap logam berat sehingga kandungan logam berat yang mencemari badan perairan dapat pindah atau masuk dalam thallus rumput laut. Logam berat dapat mengacau sistem metabolisme dan menurunkan produktifitas rumput laut. Akumulasi logam berat dipengaruhi oleh lama pemaparan. Hal ini dapat menyebabkan semakin lama pemaparan maka semakin banyak logam berat khususnya Pb yang terakumulasi dalam thallus.
Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang memiliki kemampuan untuk mengakumulasi Pb dalam thallusnya. Timbal menyebabkan penurunan kandungan klorofil dan fikoeritrin. Semakin besar konsentrasi Pb media dan semakin lama pemaparan maka semakin besar Pb yang terakumulasi dan semakin sedikit kandungan klorofil dan fikoeritrin thallus E. cottonii.
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998). Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja 1996).
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati (Aslan 1998).
Rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai ciri-ciri yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berwarna cokelat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (system percabangan tiga-tiga) Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesa. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni.
Eucheuma cottonii tumbuh di rataan terumbu karang dangkal sampai kedalaman 6 m, melekat di batu karang, cangkang kerang dan benda keras lainnya. Faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan jenis ini yaitu cukup arus dan salinitas (kadar garam) yang stabil, yaitu berkisar 28-34 per mil. Oleh karenanya rumput laut jenis ini akan hidup baik bila jauh dari muara sungai. Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau benda lainnya.

Faktor-faktor ekologis
Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain : arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran, dan ketersediaan bibit dan tenaga kerja yang terampil.

1. Arus: Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 28oC.  Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut. Besarnya kecepatan arus yang baik antara : 20 – 40 cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.

2. Kondisi Dasar Perairan: Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik, sedangkan bila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar itu terkena gelombang yang besar dan bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.

3. Kedalaman Air: Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 30 – 60 cm pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang ber arus kencang) metoda lepas dasar, dan 2 – 15 m untuk metoda rakit apung, metode rawai (long-line) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan  dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

4. Salinitas: Eucheuma cotonii (sinonim: Kappaphycus alvarezii) adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28 – 35 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan  dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan  muara sungai.

5. Kecerahan: Rumput laut memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 (satu) m. Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air, sehingga kotoran dapat menutupi permukaan thallus, yang akan mengganggu  pertumbuhan dan perkembangannya.

6. Pencemaran: Lokasi yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari.

7. Ketersediaan Bibit: Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk usaha rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat memperolehnya dari  lokasi lain. Pada lokasi dimana Eucheuma cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria.

8. Tenaga Kerja: Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya, sehingga dapat meningkatkan kinerja  dan sekaligus menghemat biaya transportasi.

Eucheuma cottonii tidak hanya mudah untuk dipelihara tetapi mudah didapat.  Selain itu pertumbuhannya lebih cepat dan sangat tahan terhadap perubahan suhu dan salinitas.  Dewasa ini permintaan pasar rumput laut semakin meningkat sedangkan hasil produksi sangat kurang.  Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuaan tentang teknik budidaya yang baik seperti pengaturan jarak tanam pada saat budidaya Eucheuma cottonii.  Melihat peluang tersebut, pengembangan komuditas Eucheuma cottonii memiliki prospek yang sangat cerah karena memiliki nilai ekonomis yang penting dalam menunjang pembangunan perikanan baik kaitannya dengan peningkatan ekspor non migas, penyediaan industri dalam negeri maupun meningkatkan pendapatan petani rumput laut serta memperluas lapangan kerja.
Dalam melakukan budidaya perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi Eucheuma cottonii antara lain, faktor lingkungan dan metode budidaya yang digunakan.  Faktor lingkungan sangat menentukan tingkat keberhasilan produksi Eucheuma cottonii. 
Faktor lingkungan meliputi kecepatan arus dan lokasi yang baik harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat.  Substrat harus mempunyai dasar perairan yang agak kereas yang dibentuk oleh pasir dan karang serta bebas dari partikel-partikel lumpur.  Tingkat kecerahan harus stabil karena air keruh mengandung partikel-partikel halus yang berlimpah dan akan menutupi thallus sehingga menghambat penyerapan makanan dan proses photosintesis.  Suhu perairan yang baik untuk lokasi budidaya Eucheuma cottonii antara 26-30oC, meskipun suhu tidak berpengaruh mematikan namun dapat menghambat pertumbuhan, sedangkan PH berkisar antara 6-9.  Salinitas yang baik berkisar 30-37 promil dimana salinitas dibawah 28 promil tanaman mudah terserang penyakit.
Metode budidaya yang bisaa digunakan dalam budidaya Eucheuma cottonii antara lain metode lepas dasar, dimana dalam metode ini penanaman dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30 cm diatas dasar perairan.  Metode budidaya yang lain adalah metode rakit apung, dimana dalam metode ini penanaman menggunakan rakit yang terbuat dari bambu.  Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan.  Bibit diikatkan pada tali utama dilengkapi dengan pelampung (Aslan, 2005).
Metode yang paling mudah dan tidak membutuhkan biaya banyak adalah dengan menggunakan metode long line, pada metode ini hanya menggunakan bentangan tali yang panjang, dilengkapi dengan pemberat yang terbuat dari pasir yang dibungkus dengan karung, dilengkapi dengan bola pelampung untuk menghindari tanaman tenggelam pada saat penanaman.  Bibit Eucheuma cottonii diikatkan pada tali ris dengan menggunakan tali raffia dan diikat dengan simpul mati hal ini bertujuan untuk menghindari tanaman terlepas dan bergeser karena guncangan ombak yang kuat dan diikatkan pelampung untuk mengapung tanaman dan mempermudah pengontrolan (Jana T, et all, 2006).


Sumber

Aslan, L. M..1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta
Atmadja, W. 1996. Pengenalan Jenis Alagae Merah (Rhodophyta). Pengenalan Jenis Jenis Rumput Laut Indonesia. Atmadja, W. S., A, Kadi., Sulistijo dan Rahmaniar (Edd). Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta
Jana-Anggadiredjo, 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Lamai, C., Maleeya. K., Prayad. P., E. Suchart.U. dan Varasaya. S. 2005. Toxicity and Accumulation of Lead and Cadmium In The Filamenous Green Algae Cladopora fracta (O. F. Muller ex Vahl) Kutzing : A Laboratory Study. Scienceasia.Vol 31, hal. 121-127.
Luning, K. 1990. Seaweed Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. John Wiley and Sons, New York
Profile Rumput Laut Indonesia. 2003. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar